Quran Surat Al-Baqarah Ayat 3
ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
Arab-Latin : Allażīna yu`minụna bil-gaibi wa yuqīmụnaṣ-ṣalāta wa mimmā razaqnāhum yunfiqụn
Terjemah Arti : (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Tafsir Quran Surat Al-Baqarah Ayat 3
3-4. (Orang-orang yang bertakwa itu adalah) orang-orang yang beriman kepada perkara gaib, yaitu segala sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh panca indera dan tersembunyi, yang diberitakan oleh Allah atau Rasulullah seperti hari Akhir.
Dan orang-orang yang mendirikan salat, yakni menunaikannya sesuai ketentuan syariat yang meliputi syarat, rukun, wajib dan sunnahnya. Dan mereka adalah orang-orang yang gemar menginfakkan sebagian rezeki yang mereka terima dari Allah, baik yang sifatnya wajib seperti zakat, maupun yang tidak wajib seperti sedekah, demi mengharap pahala dari Allah. Mereka juga yang beriman kepada wahyu yang Allah turunkan kepadamu –wahai Nabi- dan wahyu yang Dia turunkan kepada para nabi -'alaihimussalām- sebelum kamu, tanpa membeda-bedakan di antara mereka. Dan mereka juga beriman secara tegas akan adanya akhirat beserta ganjaran dan hukuman yang ada di dalamnya.
Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia Surat Al-Baqarah Ayat 3 الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
Makna iman secara bahasa adalah meyakini; sedangkan makna ghaib adalah semua yang dikabarkan oleh Rasulullah yang tidak bisa dicerna oleh akal seperti : tanda-tanda kiamat, azab kubur, hari kebangkitan, shirath, mizan, surga, dan neraka.
Disebutkan dalam hadist yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Umar dari Nabi bahwa beliau bersabda: “iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.
وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
Iqamah ash-sholah adalah mengerjakannya dengan memenuhi segala rukun-rukunnya, sunnah-sunnahnya, dan hai’ah-hai’ahnya dalam waktu yang telah ditetapkan. Menurut Ibnu Abbas dalam kalimat (ويقيمون الصلاة) yakni sholat wajib lima waktu.
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ Menurut Ibnu Ibnu abbas kata infaq disini ialah zakat yang dikeluarkan dari harta mereka; sedangkan menurut Ibnu Jarir maksud dari infaq adalah infaq dalam arti luas yang mencakup zakat dan sedekah tanpa membedakan infaq untuk kerabat atau yang lainnya, yang wajib maupun yang sunnah, dan inilah pendapat yang benar.
Ayat ini merupakan penjelasan dari ayat sebelumnya tentang orang-orang yang bertaqwa. Allah ta’ala merinci beberapa karakteristik orang-orang yang bertaqwa tersebut dalam ayat ini, diantaranya :
Pertama, iman kepada yang gaib Abu ja’far ar-Razi menceritakan, dari Abdulloh, ia mengatakan, “Iman itu adalah kebenaran”. Ali bin abu Thalhah dan juga yang lainnya menceritakan, dari Ibnu Abbas rhodiyallohu ‘anhu, ia mengatakan; “Mereka beriman (maksudnya adalah) mereka membenarkan”.
Sedangkan Mu’ammar mengatakan dari az-Zuhri “Iman adalah amal”. Abu ja’far ar-Razi juga mengatakan dari Ar-Robi’ bin Anas, “iman itu adalah takut”. Seperti firman-Nya :
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
"Sesun nas, “iman itu adalah takut”. Seperti firman-Nya :
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
"Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar". (QS. Al-Mulk : 12)
Ibnu jarir mengatakan makna yang lebih daik dan tepat dari iman adalah mereka harus mensifati diri dengan iman kepada yang ghaib baik melalui ucapan maupun perbuatan, kata iman itu mencakup keimanan kepada Allah, kitab-kitab-Nya, dan Rosul-rosul-Nya sekaligus membenarkan pernyataan itu melalui amal perbuatan.
Demikianlah makna iman yang diartikan dalam istilah syariat yang mencakup keyakinan, ucapan dan amal perbuatan. Hal ini merupakan pendapat yang menjadi pegangan mayoritas ulama, bahkan telah dinyatakan secara Ijma’ oleh Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Ubaidah, dan lain-lain yang menyatakan : أن الإيمان قول وعمل يزيد وينقص
“Bahwa iman adalah pembenaran dengan ucapan dan amal perbuatan yang dapat bertambah dan berkurang”.
Mengenai hal ini banyak hadits-hadits dan atsar yang membahasnya. Adapun makna yang ghaib dalam ayat ini terdiri dari banyak hal yang dinyatakan para ulama diantaranya : Abu ja’far ar-Razi dari Abi Al-‘Aliyah mengatakan “beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, Rosul-rosul, hari akhir, surga, neraka, dan pertemuannya.
Dan beriman akan adanya kehidupan setelah kematian dan hari kebangkitan” dan semua hal tersebut merupakan sesuatu yang ghaib. Berkata As-Sadi dari abi Malik dari Abi Sholih dari Ibnu Abbas dari Muroh al-Hamdani dari Ibnu Mas’ud dari salah seorang sahabat Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam “adapun hal yang ghaib adalah sesuatu yang tidak diketahui seorang hamba tentang masalah surge, masalah neaka, dan apa-apa yang disebutkan dalam al-quran. Ibnu abbas juga meriwayatkan, yang dimaksud yang ghaib adalah sesuatu yang datang dari Allah ta’ala.
Beberapa mufasir mengatakan makna yang ghaib dengan makna yang Bergama, ada yang memaknainya taqdir, islam, dan masih banyakpendapat yang lainnya. Said bin Mansur berkata dari hadits yang diriwayatkan Abdurrahmna bin Yazid,dia berkata : “kami sedang duduk bersama Ibnu Mas’ud, maka kami menyebut sahabat-sahabat nabi yang sudah berlalu, maka berkatalah Abdulloh :, “sesungguhnya perintah nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam ada diantara kita dan kita telah melihatnya, Demi Dzat yang tidak ada tuhan selain-Nya, tidak ada seorangpun yang lebih baik imannya, daripada iman kepada yang ghaib. Kemudian beliau membaca :
الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ….. ….وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (QS. Al-Baqarah ayat 1-5)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Muhairiz, ia ,menceritakan
قلت لأبي جمعة : حدثنا حديثا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : نعم ، أحدثك حديثا جيدا : تغدينا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ومعنا أبو عبيدة بن الجراح ، فقال : يا رسول الله ، هل أحد خير منا ؟ أسلمنا معك وجاهدنا معك . قال : نعم ، قوم من بعدكم يؤمنون بي ولم يروني .
Aku pernah berkata kepada Abi Jum’ah: “beritahukan kepada kami sebuah hadits yang engkau dengar dari Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam ?”. ia pun berkata, “baiklah, aku akan beritahukan sebuah hadits kepadamu. Kami pernah makan siang bersama Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam, dan bersama kami terdapat Abu Ubaidah bin al-Jarrah, lalu ia bertanya : “Ya Rosululloh, adakah seseorang yang lebih baik dari kami? Sedangkan kami telah masuk Islam bersamamu dan berjihad bersamamu pula?.” Beliau menjawab : “Ya, ada. Suatu kaum setelah kalian yang beriman kepadaku padahal mereka tidak melihatku”
Kedua, mendirikan sholat. Ibnu Abbas mengatakan, “وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ” berarti mendirikan sholat dengan segala kewajibannya. Ad-Dhohak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, mendirikan sholat berarti mengerjakan dengan sempurna ruku’,sujud, bacaan, serta penuh kekhusyuan. Qotadah mengatakan, mendirkan sholat berarti berusaha mengerjakannya tepat waktu, berwudhu, ruku’, dan bersujud. Muqotil bin Hayyan mengatakan, “mendirikan sholat” berarti menjaga untuk selalu mengerjakannya pada waktunya, menyempurnakan wudhuu, ruku’, sujud, bacaan al-Quran, tasyahud, serta membaca sholawat kepada Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam.
Demikian itulah makna “mendirikan sholat”. Ketiga, menafkahkan sebagian rizki yang dianugrahkan kepadanya. Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya menceritakan, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan “maksud menafkahkan harta adalah mengeluarkan zakat dari harta kekayan yang dimilikinya”. As-Suddi menceritakan dari Ibnu Abbas, dari Ibnu Mas’ud, dan dari beberapa shahabat Rosululloh, ia mengatakan maksud ayat ini adalah memberi nafkah kepada keluarganya.
Hal ini sebelum adanya ayat yang menjelaskan tentang kewajiban zakat, yang dikemudian hari turun dalam 7 ayat surat At-Taubah. Ibnu jarir menyimpulkan bahwa ayat ini bersifat umum mencakup segala bentuk zakat dan infaq. Ia mengatakan “sebaik-baik tafsir mengenai sifat kaum itu adalah hendaklah ereka menunaikan semua kewajiban yang berada pada harta benda mereka, baik berupa zakat ataupun memberi nafkah orang-orang yang harus ia jamin dari kalangan keluarga, anak-anak dan yang lainnya dari kalangan orang-orang yang wajib ia nafkahi. Karena hubungan kekerabatan, kepemilikan (budak) atau faktor lainnya. Yang demikian itu karena Allah ta’ala mensifati dan memuji mereka dengan hal itu secara umum.
Setiap zakat dan infak merupakan sesuatu yang sangat terpuji. Ibnu Katsir berkata : “seringkali Allah ta’ala menyandingkan antara sholat dan zakat. Sholat merupakan hak Allah sekaligus bentuk ibadah kepada-Nya. Dan ia mencakup pengesaan, penyanjungan, pengharapan, pemujian, pemanjatan doa, serta tawakkal kepada-Nya. Sedangkan indak (zakat) merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada sesame makhluk dengan memberi manfaat kepada mereka.
Dan yang paling berhak mendapatkannya adalah keluarga, kaum kerabat, serta orang-orang dekat. Dengan demikian segala bentuk nafkah dan zakat yang wajib, tercakup dalam firman-Nya : وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ “Dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”. Dan hal itu juga disebutkan dalam hadits shohih bukhori dan muslim dari Ibnu Umar, bahwasanya Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :
بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله ، وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة ، وصوم رمضان ، وحج البيت “
islam didirikan di atas lima landasan, bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan Muhammad adalah rosululloh, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, serta melaksanakan ibadah haji.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar